Sabtu, 15 Mei 2010

SFD "Garap" Putri Sumut Jadi Presenter di Padang

Soal melenggak-lenggok diatas panggung serta berdialog cerdas dihadapan publik sembari disirami bliz dan ditatap puluhan “mata” camera tentu saja hal biasa yang kerap dilakoni seorang Putri Sumatera Utara 2009 Fatimah Syahnur Lubis. Tapi lain halnya, tatkala ia ditantang on cam di depan camera sebagai host dan presenter untuk sebuah produksi documentary kerja-kerja kemanusiaan (video report) yang dilakukan Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan pasca bencana di Sumatera Barat.

“Wow lumayan grogi juga, tapi sekali nyoba nagih pengen lagi” katanya berkelakar lepas saat usai dilakukan take one di lokasi shooting di Desa Lima koto Dalam, Padang Pariaman pekan lalu.

Pengakuan Ima, demikian panggilan ak ra b Putri Sumut ini, menjadi host dan presenter dalam produksi audio visual memang baru pengalaman pertamanya. Namun itu bukan menjadi kendala, terbukti selama dua hari ikut produksi dilapangan, Ima yang gemar makan pedas-pedas ini cepat beradabtasi. Dan semua proses pegambilan gambar plus suara berlangsung lancar.

“Yang buat kami yakin, bahwa Ima memiliki dasar public speaking yang baik dan tak gagap kamera. Untuk soal intonasi dan ekspresi ting gal kita permak dan dairek langsung di lapangan saja” kata sang Producer sekaligus Sutradara Sineas Film Documentary (SFD) Medan Onny Kresnawan menuturkan alasan memilih Ima sebagai host dan presenter di produksi video repotnya kali ini. Bahkan, menurut Onny yang film documentary hasil besutannya telah mendapat apresiasi award di tingkat nasional dan internasional ini menjelaskan, pengalaman sama juga pernah dilakukannya, yakni mendairek Duta Remaja Sumut 2008 Putri Dihin Titis Srikandi menjadi presenter untuk Video Education DBE2 USAID di Dairi. Hasilnya memang tak diragukan, malah video ini mendapat penilaian terbaik dari beberapa produksi sama DBE2 dari seluruh Indonesia.

Bagi Direktur PKPA Ahmad Sofyan, memunculkan Putri Sumut sebagai presenter dibagian video report mereka merupakan upaya lain pemberdayaan multi talent yang dimiliki anak dan perempuan di daerah. Toh, argumentasinya, disam ping sebagai Putri Sumut Fatimah juga membawa icon duta pariwisata yang perlu diketahui dunia international. Terlebih, pada Festival Film Anak (FFA) 2009 lalu Ima juga ikut terlibat sebagai dewan juri mewakili kaum muda.
“Video Report ini di produksi sebagai laporan audio v isual kepada lembaga donor asing untuk kerja-kerja kemanusian di lokasi bencana, maka target lain adalah mengenalkan duta pariwisata sumut ke luar negeri tentunya” papar Sofyan.

Kesan Ima sendiri, selain menikmati peran barunya s ebagai host, ia juga sangat menikmati perjalanan bersama kru produksi selama dua hari di Ranah Minang. Betapa ia melihat langsung duka anak-anak korban bencana yang mulai pulih na mun masih membutuhkan perhatian dan motivasi. Maka tak heran, sesaat kehadiranya di Children Center yang di bangun PKPA di Pariaman ia langsung diserbu puluhan anak-anak yang ingin berbagi cerita dan bermain bersamanya. Pembauran sesaat Ima bersama anak-anak pun seolah nyaris larut dalam kebersamaan nan panjang, giliran hendak beranjak pulang, anak-anak berat untuk melepasnya.

“Uni Ima jangan pergi, kami masih ingin bermain ayunan bersama uni cantik” kata seorang anak perempuan korban bencana berumur enam tahun yang tadinya sempat dipangku Ima di ayunan bermain.

Tak kuasa mengusir rasa haru, Ima pun berujar pada sang anak “maaf kakak harus pulang ya, semoga lain waktu kita berjumpa lagi”. Memang, Ima harus beranjak pulang hari itu namun beberapa hari kemudian ia kembali lagi ke Ranah minang, tentunya dalam kapasitas agenda berbeda, yakni sebagai Duta Waspada On-Line, namun hatinya tetap tak beda, ia datang kembali untuk peduli kasih dengan saudara-saudara kita yang tengah ditimpa bencana di Sumatera Barat itu. (***Media Officer SFD***)

Jumat, 25 Desember 2009

Malam Penganugrahan FFA 2009: BERHARAP BERLANJUT KETINGKAT INTERNASIONAL

ANTARA- Karya perfilman sineas Sumatera Utara (Sumut) mulai dilirik setelah berhasil menyelenggarakan Festival Film Anak (FFA) Nasional kedua. Akibatnya, aktor handal Didi Petet menantang masyarakat untuk menyelenggarakan festival itu di tingkat internasional.

"Saya bangga Sumut mampu menyelenggarakan festival film untuk anak dan diharapkan dapat berlanjut ke tingkat internasional," katanya pada malam penganugerahan Festival Film Anak ke-2 yang diselenggarakan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) dan Komunitas Film Medan, di Medan, Senin (30/11) malam.

Ia menjelaskan, festival film yang melibatkan partisipasi anak itu, merupakan festival pertama di Indonesia, sehingga Sumut berpotensi untuk lebih berkembang dalam dunia perfilman.

Karya film para sineas muda diharapkan bisa mewarnai film-film tingkat nasional, katanya. Karya itu nantinya, juga diharapkan bisa merambah pada dunia industri perfilman indonesia.

Didi Petet menilai, karya film sineas Sumut sangat kreatif dan menarik. Untuk itu, harus menjadi motivasi bagi sineas-sineas lain yang berasal dari kabupaten/kota untuk bersaing unjuk kemampuan.

Film PEREMPUAN NIAS MERETAS JALAN KESETARAAN (PNMJK), yang berkisah penolakan terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan pernikahan usia dini, yang di sutradarai oleh sineas asal Medan dan telah diputar di berbagai daerah di Indonesia, merupakan salah satu bukti Sumut punya segudang talenta karya film.

Ketua Panitia FFA, Jufri Bulian Ababil, menambahkan, Sumut memiliki sejarah baik dalam dunia perfilman dan mewarnai film tanah air. Namun, saat ini gaung perfilman itu mulai hilang.

Eforia kesuksesan film Sumut pada tahun-tahun sebelumnya yang telah sunyi itu, kini harus dibangkitkan kembali, katanya, salah satu upaya untuk membangkitkan perfilman di Sumut, antara lain berupa festival film yang berlandaskan partisipasi anak.

Jufri berharap, dengan keberhasilan Sumut menjadi pelopor festival anak pertama di Indonesia, maka perlu diapresiasi dengan baik, bahkan dukungan dari berbagai pihak, khususnya pemerintah provinsi Sumatera Utara.

Wakil Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho, pada kesempatan itu mengatakan, sineas Sumut harus bisa menghadapi berbagai tantangan untuk bisa bersaing di tingkat nasional.

Gatot mengungkapkan, pemerintah akan mendukung langkah PKPA dan komunitas film di Sumut, dalam upaya mengembangkan perfilman, khususnya dengan melibatkan anak-anak agar dapat berkreasi melalui film.

"Tahun 2010, Pemprov Sumut melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata akan memasukkan anggaran dana untuk penyelenggaraan festival film ini, agar terus berlanjut," katanya.

Berlanjutnya kegiatan festival film itu setiap tahun, diharapkan bisa menjadi daya tarik di bidang pariwisata Sumut, sehingga dapat mendatangkan kunjungan wisatawan lokal maupun mancanegara.

Sebelumnya, Direktur PKPA Ahmad Sofyan yang juga menjadi penggagas FFA bersama Onny Krenawan, salah seorang sineas dari komunitas film di Sumut, menyebutkan, saatnya mereka membuktikan bahwa anak-anak di Indonesia memiliki bakat dan kemauan yang besar di dalam perkembangan per-film-an. Untuk itu, menurut sofyan, saatnya pula kita mendukung serta memberi ruang seoptimal mungkin dalam penyaluran bakat dan kreativitas anak.
Dalam kesempatan yang sama, Komnas Perlindungan Anak Seto Mulyadi atau yang populer dipanggil Kak Seto, menyambut gembira dilaksanaknnya FFA. Menurut Kak Seto yang kehadiranya diundang sebagai tamu kehormatan anak, FFA merupakan ajang kreativitas bahkan media ekspresi positif bagi anak untuk menuangkan ide serta gagasannya. "Saya yakin, ini yang pertama ada di indonesia. Dan perlu diteruskan dan didukung oleh semua pihak" kata Kak Seto.

Sebelumnya, dari 30 film fiksi dan dokumenter yang berasal dari Sumatera, Aceh dan Jawa di screening oleh dewan juri yang terdiri dari, Didi Petet (Ketua), Onny Kresnawan (Sekretaris), Harist Merdeka Sirait (Anggota), Marhamah (Anggota) dan Fatimah Hanun Lubis (Anggota).

Menurut Sekretaris Dewan Juri Onny Kresnawan, ke tiga puluh film yang masuk screening temanya sangat beragam yakni seputar pertemanan, keluarga, jenaka sampai ke percintaan. Meski menurutnya secara Cinematography masih minim kualitas namun semangat dan ide cerita yang disampaikan anak-anak cukup menantang.

"ide dan gagasan itu yang mahal, tinggal sinematografy-nya ke depan harus terus dipoles. Untuk itu, FFA mendatang workshop-nya harus lebih dipertajam. Prinsipnya, saya siap membantu teman-teman di Medan" sela Didi Petet memberi rekomendasi FFA ke depan.

Uniknya, dari tiga puluh film karya anak itu, menurut Arist Merdeka Sirait ada berkisar delapan film yang memiliki ide cerita yang sama, yakni membangun sebuah pertemanan dan kebersamaan dengan penggalangan dana dengan cara mengamen. "Ini potret buruk sebenarnya, membangun pertemanannya oke tapi mencari duit dengan mengamen itu yang ngak betul. Seolah-olah dipikiran anak hanya mengamen cara gampang mencari duit, padahal masih banyak solusi cerdas lainnya" ujar Arist berharap FFA ke depan akan lebih baik lagi.

Dalam pembacaan penganugerahan yang dibacakan sponsor, komunitas film, dewan juri dan panitia, diumumkan pemenang film kategori fiksi dan dokumenter, serta insan perfilman anak kategori fiksi dan dokumenter, antara lain:

Film pemenang untuk kategori dokumenter adalah Juara 1 "Kami Kelas 2 A", produksi Lapas Anak Medan, Sumut; Juara 2 "Peluh Sang Iwan" produksi SMA Sri Mersing Tanjungpura Langkat Sumut, Juara III "Info Sekolah" Produksi SMA 4 Lhokseumawe NAD, juara favorit "Ari Electric" produksi SMK Telkom Sandhy Putra Medan.


Sedangkan untuk produksi film fiksi pemenangnya adalah Juara I "Baju Buat Kakek" produksi Sawah Artha Film/ SMP Satu Atap Karangmoncol Purbalingga Jatim; Juara II "Melompat Sejauh Mimpi" produksi Inside production, Malang; Juara III "Tetap Semangat" produksi Abah Production Medan, Sumut, juara Favorit "Hadiah Terindah" produksi Q-can production Gunungsitoli, Nias Sumut.


Untuk insan perfilman berpersfektif anak penghargaan terbaik untuk kategori dokumenter diberikan kepada Ardi Syahputra sebagai Sutradara terbaik dalam film "Kami Kelas II A", Danu sebagai editor terbaik dalam film "Info Sekolah", Wandi sebagai ide cerita terbaik dalam film "Peluh Sang Iwan" dan Berty Nainggolan sebagai narator terbaik dalam film "Annai Velangkali".


Insan perfilman berpersfektif anak penghargaan terbaik untuk kategori fiksi diberikan kepada Andhika Thelambanua dalam film "Impian Anakku", aktris terbaik Narti dalam film "Baju Buat Kakek", editor terbaik M Taufik Pradana dalam film Gulungan Uang, Rizkan Jania MN sebagai ide cerita terbaik dalam film "Hadiah Terindah", Jenthro sebagai penata suara terbaik dalam film "Melompat Sejauh Mimpi", dan Fachri Anziar sebagai setter/ artistik terbaik dalam film "Aku Nak Merantau".


Film-film dan sineas muda terbaik ini diperoleh berdasarkan hasil sidang penjurian yang berlangsung di Royal Perintis Hotel, Jalan Parintis Kemerdekaan Medan, Minggu (29/11) dengan Dewan juri terdiri dari Didi Widiatmoko (Didi Petet/ aktor), Arist Merdeka Sirait (Sekjen Komnas PA), Onny Kresnawan (Sutradara), Marhamah (Biro PP Anak dan KB Sekdaprovsu) dan Siti Fatima Syahnur Lubis (Putri Sumut) / Disari dari beberapa sumber SFD

Minggu, 20 Desember 2009

FFA Memotivasi Sineas Muda

MEDAN/Wapada Online – Bentuk implementasi generasi muda terhadap kekerasan dan ketidakadilan yang dirasakan anak, kini bisa diapresiasikan melalui ajang Festival Film Anak (FFA) yang diselenggarakan Pusat Kajian dan Perlidungan Anak (PKPA) didukung Komnas Perlindungan Anak dan Komunitas Film Sumatera Utara.

"Event yang digelar secara tahunan ini diharapkan mampu memotivasi sineas-sineas muda khususnya anak- anak maupun sineas berpersfektif anak di nusantara" Begitu ungkap Onny Kresnawan sineas muda kota Medan sekaligus salah seorang penggagas FFA kepada Waspada Online.

Selain dirinya, akan turut serta dalam penjurian FFA 2009 ini adalah aktor senior Didi Petet, Arist Merdeka Sirait dari Komnas PA, Seto Mulyadi yang akrab disapa Kak Seto, serta dibantu Fatimah Syahnur Lubis selaku Putri Sumut dan juga Onny Kresnawan sendiri.

Direktur PKPA Ahmad Sofyan dan juga penggagas FFA melalui staf Media, Jufri Bulian mengungkapkan, event Festival Film Anak 2009 ini, merupakan rangkaian dari kegiatan PKPA. “Dimana seluruh film yang ikut dalam ajang kompetisi ada berkisar 30 karya dan seluruhnya digarap oleh anak dan remaja, sehingga bakat yang mereka miliki dapat tersalurkan,” sebut Jufri.

Sementara Didi Petet, selaku salah juri dalam ajang FFA 2009, juga mengungkapkan, ini merupakan moment yang baik. Dan menurutnya, apa yang dilaksanakan PKPA bersama komunitas film di Sumut merupakan potret bangkitnya bibit sineas di tanah air dan sewajarnya di dukung secara maksimal oleh semua pihak. Apalagi kata aktor nasional itu, FFA merupakan yang pertama ada di tanah air.

“Kegiatan ini tidak hanya mencakup lingkup satu daerah saja, tetapi dari Aceh, Nias dan Jateng juga turut berpartisipasi. Jadi, diharapkan kepada pemerintah daerah bisa melanjutkan secara kontioniu kegiatan yang mampu membangkitkan gairah generasi muda untuk mencintai produksi dalam negeri,” pungkasnya.
(dat06/wol-mdn)

Rabu, 03 Juni 2009

Film Perempuan Nias Jadi Simbol Kampanye Di CST Bali



VIVAnews - Sebuah film karya anak Medan yang berjudul Perempuan Nias Meretas Jalan Kesetaraan (PNMJK) diputar untuk mengisi acara Konfrensi Asia Tenggara Child Sex Tourism (CST) pada 18-20 Maret di Sanur Paradise Bali.

Film bergenre dokudrama yang di produksi oleh PKPA, SFD dan AJI Medan itu rencananya akan disaksikan oleh peserta Konfrensi dari mancanegara yang peduli pada penanggulangan dan penghapusan Ekspoitasi Seksual Komersial Anak (ESKA). Selain film PNMJK, dua film lainnya dari Silicon Film Singapura dan MTV EXIT juga mewarnai acara yang dihadiri dua puluhan negara peserta itu.

Koordinator Stering Comitte CST Ahmad Sofyan menyebutkan, film PNMJK telah lolos masuk agenda konfrensi sejak sepekan lalu dan kini panitia telah menyiapkan sebuah ruangan khusus untuk pemutaran film itu.

”Kita lebih memilih film produksi anak-anak Sumatera Utara itu di tayangkan bukan saja karena faktor tontonan-nya yang menarik dan edukatif tapi film PNMJK juga merupakan simbol medium kampanye untuk menolak pernikahan usia dini” ujar Sofyan menjelaskan.

Lebih lanjut Misran Lubis selaku Producer Film memaparkan, bahwa film PNMJK diproduksi atas niat menjadikan media pembelajaran kepada masyarakat agar memahami dan menghargai hak anak dan perempuan.

Mendengar informasi film PNMJK akan diputar di Bali sekaligus menjadi ikon medium tolak pernikahan usia dini, sang sutradara film dari Sineas Film Documentary (SFD) Medan Onny Kresnawan mengaku terharu sekaligus bersukacita. Menurutnya, upaya dan kerja keras kawan-kawan yang terlibat dalam produksi PNMJK ternyata terus diapresiasi positif di luar daerah.

”Semua itu berkat kerja keras dan keseriusan teman-teman kru dan para pemerannya. Semoga film PNMJK bisa menjadi terobosan baru sebagai medium kampanye yang berdaya kontrol sosial bagi publik di dalam maupun luar negeri” tutur Onny di sela-sela acara penerimaaan penhargaan di Paradis Hotel Bali.

Film PNMJK diangkat dari sebuah penelitian serta fenomena sosial budaya masyarakat di Pulau Nias, Sumatera Utara dan langsung diperankan oleh anak-anak Nias dan masyarakat setempat.

Film berdurasi 35 menit dan memakai subtitle bahasa Inggris itu berkisah tentang seorang anak (Yanti, diperankan oleh Vini S Zega) yang akan dinikahkan seusai menamatkan pendidikan menegah pertamanya.

Namun, bercermin dari kisah tragis kakaknya terdahulu (Mira, diperankan Noveria Zega) ia berontak meski resikonya harus menghadapi berbagai pertentangan. [b]

Sumber: VivaNews

Sabtu, 14 Februari 2009

Sosok Dibalik Layar Perempuan Nias

MESKI SEMPAT KONTROVERSI SAAT MEMPRODUKSI FILM DOKUDRAMA PEREMPUAN NIAS MERETAS JALAN KESETARAAN (PNMJK), NAMUN SUARA MIRING SEGELINTIR ORANG PERLAHAN BERINGSUT SIRNA. TOH, TERBUKTI SAAT FILM PNMJK DI PUTAR PERDANA DI LAPANGAN MERDEKA GUNUNG SITOLI BEBERAPA WAKTU LALU, RIBUAN PENONTON BERDUYUN MENYAKSIKANNYA. DECAK KAGUM MENGALIR DARI BIBIR PENONTONNYA. DISAMPING KEAHLIAN TIM KREATIFNYA, SIAPA PULA SUTRADARA DI BALIK LAYAR FILM PEREMPUAN NIAS INI?

Karirnya sebagai seorang filmmaker Medan sedang melejit. Tetapi bukan meroket dengan serta merta. Semua diperoleh dengan usaha keras, prinsip, dan perjuangan. Dialah filmmaker Medan yang paling dicari-cari saat ini. Panggil dia, Onny Kresnawan!

Ialah sosok di balik pembuatan berbagai film yang mengangkat tema-tema lokal. Karya-karyanya beberapa kali mendapatkan penghargaan pada berbagai Festival Nasional. Sebut saja film documenter berjudul “Badai”, film soal krisis air bersih yang terjadi di daerah Langkat, Sumatera Utara. Awal 2008, film ini mendapat juara III pada Festival Film Air FORKAMI Jakarta.

Film lainnya “Pantang di Jaring Halus”, film documenter yang mengangkat isu soal konservasi hutan mangrove terkait ritual budaya masyarakat setempat. Film ini menjadi nominator Festival Film Konfiden Jakarta, di putar di Taman Ismail Marzuki, kemudian menjadi film terbaik J-Festival Jawa Timur pada tahun 2008.

Film Cerita Pendek “Pesan dari Balik Kerudung” hasil produksi bersama Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) yang melibatkan anak-anak Pulau Simeulue, Sinabang menjadi juara I Video Diary Yamaha 2008. Pun film rangkaian impian anak-anak putus sekolah kepada sang presidennya, “Goresan Anak Pemulung” menjadi nominator Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta tahun 2005.

Yang terbaru adalah film “Perempuan Nias Meretas Jalan Kesetaraan (PNMJK)” , film dokudrama hasil produksi PKPA dengan SFD, AJI Medan serta didukung Medan Bisnis, Medan Wekkly dan Tabloid Pinbis sebagai Media Fatner. Film diangkat dari hasil penelitian PKPA dan bercerita tentang seorang anak perempuan, Yanti yang tengah memperjuangkan haknya sebagai perempuan Nias. Hak untuk menentukan pilihan hidup, hak memperoleh pendidikan, hak menolak pernikahan dini yang menjadi adat kebiasaan masyarakat Nias.

Film-film yang terlahir dan disutradarai Onny adalah bukti kepekaannya terhadap berbagai permasalahan sosial dan kultural yang kerap terjadi di masyarakat. Ia sangat sensitif menyoal hal-hal kecil yang sering kali terabaikan dan membidik kearifan-kearifan lokal untuk dijadikan cermin.

“Inilah kelebihan Onny,” kata Maskur Abdullah, koresponden kantor berita BBC London untuk Indonesia. Menurutnya Onny mampu menggarap film-film dengan muatan edukasi. Nuansa lokal yang dihadirkan menjadi kelebihannya. Selain mata hatinya yang pandai membidik ide-ide menarik, ia memiliki kemampuan membidik gambar dengan cameranya dan menyajikannya menjadi tontonan yang asyik dan artistic. “Seperti kisah para petani di Kuala Namu yang tanahnya digusur untuk Bandara,” kata Pemimpin Tabloid Pinbis yang sudah menonton beberapa karya Onny itu.

“Asik dalam arti gambar yang diambil dapat menyentuh hati, sangat nature, tidak didramatisir namun diangkat dari kisah nyata yang ada di masyarakat,” kata Sofyan Tan, Ketua Yayasan Ekosistem Leuser dan Ketua Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan. Sofyan Tan adalah salah seorang yang telah bertahun-tahun diikuti oleh “mata camera” Onny sehingga terlahirlah sebuah dukumenter berjudul “Cakap-Cakap Orang Sumut”.

Ahmad Sofian, Direktur Eksekutif PKPA yang sudah setahun menjalin kerjasama dengan Onny dalam bentuk video report, film documenter, dan terakhir dokudrama PNMJK merasa sangat puas dengan sentuhan tangan kreatif Onny. “Yang terakhir ini saya sangat puas. Benar-benar orisinil Nias, pemainnya, latar budayanya, pesannya juga sampai,” kata Sofian. “Onny adalah seorang professional dalam bekerja, ide-ide dikemas dengan menari, yang paling berkesan adalah sifat kerelawanannya. Ia tidak mengutamakan profit dalam membuat sebuah film,” kata Sofian lagi.

Miranti Hirchsmann, jurnalis Radio DW Jerman yang tengah menjalankan tugas jurnalistiknya beberapa waktu lalu di Medan sempat memberi komentar seputar film PNMJK, ia merasa miris. “ Masalah perempuan yang terbelenggu adat hingga sekarang masih saja terjadi. Tidak hanya di Indonesia namun juga di negara negara seperti India, Afganistan, juga negara-negara Timur Tengah dan Afrika. Walaupun sudah berlangsung ratusan tahun, masih juga banyak yang tak mampu lepas dari belenggu-belenggu itu” sebut Miranti yang juga Koresponden Gatra Biro Jerman itu

Miranti mengatakan bahwa perempuan harus mulai menyadari apa yang menjadi hak mereka. Hak kesetaraan gender, hak mendapat pendidikan, dan hak hidup layak. “Tak ada yang dapat memperjuangkan hak hak tersebut kalau bukan perempuan itu sendiri,” kata Miranti.

Kesadaran tersebut hanya bisa terbuka lewat pendidikan, seperti digambarkan Onny dalam filmnya. Tanpa pendidikan, jendela untuk melihat dunia luar tak akan terbuka. Dengan melihat ke luar jendela, perempuan bisa berpikir lebih jauh. “Saya yakin setiap perempuan memiliki kekuatan untuk menentukan jalan hidupnya,” tegas Miranti.

Perempuan diciptakan kuat, mereka hamil, melahirkan, dan mampu mengerjakan multi tasking dalam kehidupan rumah tangga. Namun dunia tidak terbatas pada pagar rumah mereka. Sayangnya, penghargaan terhadap perempuan di beberapa negara masih memprihatinkan.

Bahkan kata Miranti bila bercermin pada negara negara maju seperti Eropa, sejarah emansipasi dan kesetaraan gender pun selalu menjalani jalan panjang yang berliku. Ini membutuhkan kesadaran dan tekat sekuat baja, tanpa meninggalkan kewajiban alami sebagai perempuan.

Munculnya film-film maker seperti Onny dan kawan-kawan akan membawa nafas baru dalam perfilman Indonesia. “Film Indonesia sedang bangkit, kehadiran sineas-sineas muda yang jeli melihat berbagai isu dan persoalan social.,” tutur Miranti. Apalagi masyarakat Indonesia melompati budaya literat kepada budaya visual. Film merupakan sarana tepat.

“Film dokumenter, sebagai media yang sedang digemari, nampaknya harus ditangani dengan hati hati, kalau terlalu serius, saya takut nggak ada yang berminat nonton. Onny punya kejelian itu,” lanjut Miranti. Menurutnya Onny seorang yang sensitive, mungkin karena ia berusaha tidak ingin menyakiti siapa pun. Ia amat hati hati dan cerdas berinteraksi dengan masyarakat.

Miranti berharap Onny dapat mengangkat masalah-masalah sosial lain yang luput dari perhatian orang banyak. “Saya pikir, film bisu pun akan bercerita lebih banyak dari pada sejuta kata kata tak bermakna. Saya mengucapkan selamat dan sukses atas karya Onny dan rekan rekan. Bravo!” kata Miranti antusias.

Kekaguman terhadap film-film yang terlahir dari tangan Onny juga tercetus dari Meutia Hafizd. Ketika tengah berkunjung ke PKPA Medan, Meutia sempat menonton PNMJK. Walau tak sempat menonton hingga selesai, ia mengaku menikmati alur, menangkap orisinalitas cerita, dan keindahan gambar. Ia sempat terkejut begitu tahu film ini hanya dibuat dengan menggunakan satu kamera. “Film sebagus ini hanya menggunakan satu kamera?”tanya Meutia seakan tidak percaya. Ia mengaku biasanya di Metro TV membutuhkan paling tidak tiga kamera untuk membuat satu film documenter. “Salut,” kata Meutia lagi.

“Saya juga merasa sangat fantastis, untuk membuat film ini satu adegan dilakukan berulang-ulang untuk memperkaya sudut pengambilan, angel, hasilnya luar biasa,” kata Ahmad Sofian. Ia bangga dan puas karena kerjasama dan kerja keras mereka membuahkan hasil. “Filmnya bagus. Pesan yang mau kita sampaikan juga dapet,” katanya lagi.

Bagi Astra Sitompul, Produser Eksekutif Deli TV juga menilai film PNMJK sudah cukup baik walau dengan teknologi yang terbatas. “Cerita tentang masyarakat Nias, isinya sangat mendidik,“ katanya. Film ini merupakan protes terhadap kebiasaan yang bersembunyi di balik adat-istiadat. “Saatnya kita juga selektif terhadap nilai-nilai budaya yang sudah usang,” kata Sitompul lagi.

Sitompul telah lama mengenal Onny, teman bersama minum kopi, bahkan sejak Onny masih menjadi kameraman di salah satu televisi swasta Indonesia. “Onny sudah sangat maju di bidang jurnalistik malah maju di bidang sinema pula sekarang. Pengambilan gambar bagus, cerita-ceritanya edukatif,” kata Sitompul. “Dia harus terus melakukan ini. Jangan sampai berhenti. Karena sinematografi adalah gambaran kehidupan masyarakat yang harus digarap terus-menerus,” pesan Sitompul.

Onny memang seorang seniman, seniman sinematografi. Ia mencintai pekerjaannya dengan sepenuh hati. Sejak menjadi nominasi pada satu festival di Yogyakarta pada tahun 2004, Onny menetapkan hati akan serius di sinematografi. Ia mencintainya dan ingin menjadikannya sebagai media kampanye. Kampanye pikiran-pikirannya untuk control social masyarakat.

Berbekal motto Berkarya Professional dan Bersemangat Kerelawanan, Onny berkarya dan berkarya. Hasilnya? Film-film yang menurut Maskur layak bersaing di tingkat nasional. Sepuluh tahun lebih mengenal Onny, Maskur menilainya sebagai seorang yang kreatif, sedikit moddy, suka berkesperimen, dan tidak suka diganggu jika sedang serius bekerja. “Itu yang saya suka dari Onny,” katanya lagi.

Ia juga terkadang meledak-ledak. Ia memegang prinsip dan akan memberontak terhadap persoalan yang tak dapat diterimanya dengan hati nuraninya. “Ia juga enak diajak kerja sama, memberi masukan, dan mau menerima pandangan kita,” kata Sofyan Tan pula. “Terutama, ia tidak matrealistis,” tandasnya lagi. (Ditulis Oleh Eka Rehulin untuk Media Fatner)

Minggu, 08 Februari 2009

ONNY KRESNAWAN, SINEAS MUDA MEDAN YANG BERPRESTASI

Tahun 1997 sampai 2003, Onny Kresnawan (39 tahun) malang melintang di dunia liputan televisi. Maklum, pria murah senyum dan humoris ini adalah jurnalis salah satu stasiun televisi swasta ketika itu. Beragam peristiwa dari Sumatera Utara direkam oleh ayah empat orang anak ini. Ocha, panggilan akrabnya selalu sibuk dengan berita dan dikejar oleh deadline liputan. Namun, tahun 2003 lalu, dia memutuskan untuk menghakhiri menjadi jurnalis. Pasalnya, Onny merasa di tempatnya kerja tak lagi kondusif kala itu – ia putuskan untuk melakukan gugatan dan lebih memilih menjadi filmmaker. Kini, menjadi sineas muda di Sumatera Utara. "Awalnya, menjadi filmmaker atau membuat video jurnalis karena bentuk kekecewaan terhadap perusahaan media yang tak bisa menghargai jurnalis daerah dengan profesional," sebutnya pada Global, akhir pekan lalu.

Siang begitu terik, Onny sibuk membidikkan kameranya ke arah pantai di Aceh Selatan. Saat itu, dia sedang membuat film dokumenter untuk profil kabupaten yang dijuluki kota naga tersebut. Sesekali mulutnya berdecak kagum akan keindahan alam di kabupaten penghasil pala terbesar di Aceh tersebut. Kekecewaan itu menghantarkan suami dari Mahyuni Harefa SE ini menjadi pembuat film dokumenter. Dia menyebutkan, secara otodidak terbiasa dengan kamera. Mantan Cameraman TPI di Sumatera Utara ini, kemudian belajar lebih dalam tentang editing gambar di sebuah lembaga di Medan. "Aku terbiasa dengan kamera. Tapi, di TV itu kan cuma sekadar merekam gambar. Aku tidak tahu bagaimana proses editing dan mengkonsep tayangan baku. Setelah keluar dari TPI, makanya aku harus survive untuk menghidupi keluarga," ujarnya tegas. Sesekali asap putih keluar dari bibirnya. Rokok putih itu sudah dua kali disambungnya.

Rezeki takkan lari ke mana. Itulah ungkapan yang tepat buat Onny. Sejak itu, dia malang melintang di dunia pembuatan film. Tidak jarang pula, para pekerja NGO baik lokal dan internasional menggunakan jasanya untuk membuat video report (laporan audio visual). Kemampuannya mengambil gambar yang eksotik, membuat lelaki ini dipercaya oleh lembaga internasional untuk mengerjakan film dokumenter dan video reports mereka. USAID, OXFAM dan Swisscontac adalah lembaga yang pernah menggunakan jasa Onny. Hasilnya, tak diragukan. Kualitas gambar yang dihasilkan Koordinator Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan ini sangat bagus. Sehingga, lembaga asing yang berkantor di Amerika, Ingris dan Swiss itu berani membayarnya Rp 800.000 per hari untuk pengambilan gambar diluar biaya editing serta produksi jadi film. Ya, hobi memegang kamera "berbuah" rupiah bagi Onny. "

Tidak tanggung-tanggung. Setelah meninggalkan dunia jurnalis TV, Onny serius menekuni dunia barunya. Sedikitnya enam film dokumenter telah digarapnya. Film dengan judul Kintir-bercerita tentang bencana banjir bandang di Langkat, Alam Menangis, Warga Mengggugat-bercerita soal banjir di lembah Sibayak. Film lainnya, Menapak Tahura, Menjemput Asa, Lembar Surga Dua Desa-film keberagaman dan lingkungan di Daulu Brastagi, serta Cakap-cakap Orang Sumut-bercerita sosial politik, bagaimana masyarakat Sumut mencari pemimpin yang cerdas dan baik dalam pilkada mendatang dan terakhir film dokumenter dengan judul Pantang di Jaring Halus. Pantang di Jaring Halus sendiri film yang berlatar budaya dan konservasi alam. Bahkan, film ini diikutsertakan dalam lomba film dokumenter di Jakarta. "Alhamdulillah sekarang sudah sampai 12 besar. Tanggal 20 kemarin di putar di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta," sebut Onny bangga. Onny berharap, film satu-satunya yang masuk mewakili Sumatera Utara itu bisa memenangkan lomba yang diprakarsai Garin Nugroho dan kawan-kawan itu. Saat disinggung soal targetnya, Onny menyebutkan dirinya berharap menang di Jakarta. "Kita ingin buktikan bahwa anak Medan juga punya kemampuan dalam bidang sinematograpy," sebutnya dengan logat khas Medan.

Geli Dipanggil Sutradara
"Aku geli kalau ada orang mengatakan aku sutradara," ketusnya. Pria yang tidak menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Pembangunan (STIK-P) Medan ini menyebutkan banyak orang mengartikan film dokumenter seperti film cerita dan sinetron, padahal tidak.Dengan rendah hati, Onny menyebutkan dirinya filmmaker (pembuat film). "Aku bukan sutradara. Kalaupun sutradara, aku masih menyutradarai diriku sendiri. Karena aku juga pembuat naskah, kameramen dan editor di semua filmku," ujarnya. Sesekali Onny terus menatap ombak. Senja mulai memerah di Aceh Selatan sore itu. Dia membenarkan kaki tripot kameranya. Moncong kamera di arahkan ke arah matahari terbenam (sunset).

Menurutnya, masa depan film dokumenter di Sumatera Utara punya masa depan yang baik. Pasalnya, saat ini daerah itu masih sangat minim memiliki sineas pembuat film dokumenter. Sehingga, setahun lalu, bersama teman-temannya, dirinya bergabung dalam File dokumentere (SFd). Lembaga ini berdiri sendiri dalam lembaga Source of Indonesia (SOI). "Bukan itu saja. Di Medan banyak peristiwa yang tidak terdokumentasi dalam bentuk film. Misalnya jatuhnya pesawat Garuda, Mandala dan lain sebagainya. Inikan sejarah, makanya dibutuhkan dokumentasi dalam bentuk film," sebut pria kelahiran Medan 7 Januari 1968 ini. Selain itu, sebutnya, saat ini laporan perusahaan dan NGO bukan hanya di buat dalam bentuk tulisan. Namun, tak sedikit NGO meminta laporan dalam bentuk audio visual dalam format video report. "Misalnya durasinya 15 menit," ungkapnya. Namun, kini, Medan sepertinya kurang memberikan apresiasi terhadap film dokumenter karya sineas mudanya. Terbukti, dua kali mengikuti lomba nasional, Onny, harus merogoh kocek pribadi untuk biaya pembuatan film tersebut. Bahkan, sampai memasuki 10 besarpun, pemerintah setempat dan instansi terkait belum memberikan apresiasi terhadap karya sineas muda ini. Onny berharap dukungan dan do’a dari seluruh masyarakat Sumatera Utara, agar Film Pantang di Jaring Halus menang dalam lomba festival film dokumenter di Jakarta,serta berharap lebih jauh, agar pemerintah memberikan apresiasi terhadap karya seni dan karya kebanggaan masyarakat Sumatera Utara itu. Sore semakin redup, langit tampak merah. Sebentar lagi gelap tiba. Onny bergegas dengan senyum puas, atas buruan gambar eksotis yang dia hasilkannya. (Masriadi Sambo-Global)

Festival Film Anak 2008 di Medan Diharapkan Menjadi Agenda Nasional


Sineas Aceh patut berbangga, pasalnya Film dokumenter berjudul ”Menelusuri Jejak Anak Rimba” akhirnya di nobatkan sebagai pemenang pertama dalam Festival Film Anak (FFA) 2008 yang diselenggarakan di Garuda Plaza Hotel Medan, Selasa malam (29/7). Film yang diproduksi oleh anak-anak Jhanto Aceh Besar berkisah soal prilaku menyimpang generasi bangsa akibat himpitan ekomoni itu ternyata mampu men”curi” hati dewan juri dan menggeser posisi beragam karya anak lainnya dari luar Medan bahkan luar Pulau Sumatera.

Menurut pemakarsa FFA yang juga saat ini sebagai Producer Sineas Film Dokumentary (SFD) Medan Onny Kresnawan, kemenangan sineas Aceh patut diacungkan jempol dan sekaligus harus menjadi pemicu bagi sineas Medan untuk berbuat lebih baik di kemudian hari. Dan ia memotivasi agar menghidari regenerasi terputus untuk sineas Medan dengan kiat memacu hobby menjadi profesi dan melahirkan prestasi.

Festival Film Anak (FFA) 2008 dipercaya akan membawa nafas baru menandai bangkitnya generasi muda kreatif yang akan mendorong kemajuan di dunia perfilman di Indonesia khususnya Sumatera Utara.

”Festival ini luar biasa. Anak-anak kita ternyata luar biasa. Karena ini adalah pertama kali di Indonesia dan patut di dukung semua pihak. Kita akan meminta kepada enam stasiun televisi di Sumatera Utara agar menayangkan film-film karya anak-anak Sumatera Utara ” kata Kepala Dinas Infokom Sumatera Utara, Edy Sofyan di sela-sela acara malam penganugrahan.

Edi menandaskan, FFA 2008 yang diorganisir oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) serta di dukung oleh kalangan Sineas asal Medan ini harus diperjuangkan semua pihak agar dapat menjadi icon nasional yang dapat berlangsung secara rutin setiap tahunnya. Hal itu, katanya, tampak dari sebagian peserta FFA 2008 tidak saja berasal dari Sumatera Utara, tapi juga dikuti oleh peserta yang berasal dari Aceh (2 film), Bekasi (3 film), Malang (1 film) dan Semarang.

Diharapkan Edi, agar ajang festival yang memiliki nafas baru di dunia sinemathograpy di Sumatera Utara ini dan telah menunjukkan karya-karya luar biasa anak-anak untuk mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual ke lembaga yang berkompeten.

Hal senada disampaikan ketua Dewan Juri FFA 2008 Anthony Ricardo Hutapea. Antony didampingi 4 juri lainnya Dr. Daniel (pengamat film/ Sekretaris SENAKKI Sumut), Bambang Soed (Anggota KPID Sumut) yakni Fakhnita (psikolog remaja/ aktivis LSM) dan Defi Damayanti (Psikolog anak) menyebutkan, meskipun masih memiliki sedikit kelemahan, namun film anak-anak dapat menjadi dorongan bagi insan perfilman nasional khususnya di Sumut untuk bangkit memproduksi film-film yang bagus.

”Di masa mendatang, dengan adanya ajang festival seperti ini, film kita akan menjadi film-film yang baik dan berkualitas. Baik dalam maksud perencanaannya, baik dalam pengambilan gambar, penyutradaraan dan baik dalam pengeditannya,” terang Eksekutif Produser Anthony Pictures Production yang sedang mempromosikan film layar lebarnya yang berjudul ”Song of Ghost” itu.

Malam penganugerahan FFA 2008 mengenugerahkan dua katagori film terbaik, yaitu film fiksi dan film dokumenter, serta lima katagori insan pefilman yang terdiri dari Sutradara, Editor, Cameraman untuk film dokumenter ditambah dua katagori untuk film fiksi yakni Aktor dan Aktris terbaik.

Untuk katagori Film Fiksi, film yang berjudul ”Andai Kutahu” produksi SANI Pictures – Bekasi terpilih menjadi Juara I, disusul ”Haruskah Kujatuh” produksi SMA Pancabudi - Medan sebagai Juara II, ”Terima Kasih Papan Caturku” produksi SMP Dharma Patra Pangkalan Susu – Langkat sebagai Juara III dan ”Nggak Lagi-lagi Deh” sebagai Film Favorit.

Sedangkan untuk katagori film dokumenter, Film berjudul ”Menelusuri Jejak Anak Rimba” produksi PKPA Aceh terpilih sebagai juara I, Film ”Coretan Liar” produksi Scetca 52 Medan sebagai juara II, ”Merajut Mimpi di Antara Kerikil” produksi SMA Gunung Sitoli - Nias terpilih sebagai juara III dan ”Kami juga Punya Rasa” terpilih sebagai Film Favorit.

Untuk katagori Insan Perfilman dalam film Fiksi terbaik Nafis pemeran utama dalam Film ”Andai Kutahu” terpilih sebagai Aktor Terbaik, dan Dika Widya Ambarwulan, siswi kelas III SMAN 2 Medan terpilih sebagai Aktris terbaik sebagai Widi, pemeran utama dalam film ”Jalan yang Kupilih” produksi SMAN 2 Medan.

Sedangkan, untuk katagori sutradara terbaik Ema S dalam film ”Andai Kutahu” untuk film Fiksi dan M. Taufik, siswa SMA Amir Hamzah untuk film dokumenter dalam film ”Global Never Warming” produksi Opique Pictures SMA Amir hamzah - Medan.

Mulyadi P dari SANI Pictures terpilih sebagai Editor terbaik untuk film fiksi dalam ”Andai Kutahu” dan Jenthro dan Natan editor terbaik untuk film dokumenter dalam film ”Kami Juga Punya Rasa” Produksi Charis National Academy.

Kameraman terbaik Rizkan Zania MN, terpilih sebagai Kameraman terbaik untuk katagori film dokumenter dalam Film ”Merajut Mimpi di Antara Kerikil” produksi SMA Gunung Sitoli Nias dan Fachri Anzar Hasibuan dalam Film ”Terima Kasih Papan Caturku” produksi Hasibuan Production/ SMP Dharma Patra Pangkalansusu Langkat sebagai kameraman terbaik untuk film fiksi.

Pada malam penganugerahan yang dihadiri tidak kurang dari 500 pasang mata itu, kepada Film terbaik baik katagori fiksi dan dokumenter masing-masing dianugerahi Tropy FFA 2008, Piagam Penghargaan dan tabungan senilai masing-masing Rp.2 juta (Juara I), 1,5 juta (Juara II), 1 juta (Juara III) dan 500 ribu (Juara Favorit). Sedangkan untuk katagori film Insan Film masing-masing dianugerahi Trophy FFA 2008 dan Piagam Penghargaan. (Sumber Rumah Film)