
Siang begitu terik, Onny sibuk membidikkan kameranya ke arah pantai di Aceh Selatan. Saat itu, dia sedang membuat film dokumenter untuk profil kabupaten yang dijuluki
Rezeki takkan lari ke mana. Itulah ungkapan yang tepat buat Onny. Sejak itu, dia ah bagi Onny. "
Tidak tanggung-tanggung. Setelah meninggalkan dunia jurnalis TV, Onny serius menekuni dunia barunya. Sedikitnya enam film dokumenter telah digarapnya. Film dengan judul Kintir-bercerita tentang bencana banjir bandang di Langkat, Alam Menangis, Warga Mengggugat-bercerita soal banjir di lembah Sibayak. Film lainnya, Menapak Tahura, Menjemput Asa, Lembar Surga Dua Desa-film keberagaman dan lingkungan di Daulu Brastagi, serta Cakap-cakap Orang Sumut-bercerita sosial politik, bagaimana masyarakat Sumut mencari pemimpin yang cerdas dan baik dalam pilkada mendatang dan terakhir film dokumenter dengan judul Pantang di Jaring Halus. Pantang di Jaring Halus sendiri film yang berlatar budaya dan konservasi alam. Bahkan, film ini diikutsertakan dalam lomba film dokumenter di
Geli Dipanggil Sutradara
"Aku geli kalau ada orang mengatakan aku sutradara," ketusnya. Pria yang tidak menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Pembangunan (STIK-P) Medan ini menyebutkan banyak orang mengartikan film dokumenter seperti film cerita dan sinetron, padahal tidak.Dengan rendah hati, Onny menyebutkan dirinya filmmaker (pembuat film). "Aku bukan sutradara. Kalaupun sutradara, aku masih menyutradarai diriku sendiri. Karena aku juga pembuat naskah, kameramen dan editor di semua filmku," ujarnya. Sesekali Onny terus menatap ombak. Senja mulai memerah di Aceh Selatan sore itu. Dia membenarkan kaki tripot kameranya. Moncong kamera di arahkan ke arah matahari terbenam (sunset).
Menurutnya, masa depan film dokumenter di Sumatera Utara punya masa depan yang baik. Pasalnya, saat ini daerah itu masih sangat minim memiliki sineas pembuat film dokumenter. Sehingga, setahun lalu, bersama teman-temannya, dirinya bergabung dalam File dokumentere (SFd). Lembaga ini berdiri sendiri dalam lembaga Source of Indonesia (SOI). "Bukan itu saja. Di Medan banyak peristiwa yang tidak terdokumentasi dalam bentuk film. Misalnya jatuhnya pesawat Garuda, Mandala dan lain sebagainya. Inikan sejarah, makanya dibutuhkan dokumentasi dalam bentuk film," sebut pria kelahiran Medan 7 Januari 1968 ini. Selain itu, sebutnya, saat ini laporan perusahaan dan NGO bukan hanya di buat dalam bentuk tulisan. Namun, tak sedikit NGO meminta laporan dalam bentuk audio visual dalam format video report. "Misalnya durasinya 15 menit," ungkapnya. Namun, kini, Medan sepertinya kurang memberikan apresiasi terhadap film dokumenter karya sineas mudanya. Terbukti, dua kali mengikuti lomba nasional, Onny, harus merogoh kocek pribadi untuk biaya pembuatan film tersebut. Bahkan, sampai memasuki 10 besarpun, pemerintah setempat dan instansi terkait belum memberikan apresiasi terhadap karya sineas muda ini. Onny berharap dukungan dan do’a dari seluruh masyarakat Sumatera Utara, agar Film Pantang di Jaring Halus menang dalam lomba festival film dokumenter di Jakarta,serta berharap lebih jauh, agar pemerintah memberikan apresiasi terhadap karya seni dan karya kebanggaan masyarakat Sumatera Utara itu. Sore semakin redup, langit tampak merah. Sebentar lagi gelap tiba. Onny bergegas dengan senyum puas, atas buruan gambar eksotis yang dia hasilkannya. (Masriadi Sambo-Global)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar