Minggu, 08 Februari 2009

ONNY KRESNAWAN, SINEAS MUDA MEDAN YANG BERPRESTASI

Tahun 1997 sampai 2003, Onny Kresnawan (39 tahun) malang melintang di dunia liputan televisi. Maklum, pria murah senyum dan humoris ini adalah jurnalis salah satu stasiun televisi swasta ketika itu. Beragam peristiwa dari Sumatera Utara direkam oleh ayah empat orang anak ini. Ocha, panggilan akrabnya selalu sibuk dengan berita dan dikejar oleh deadline liputan. Namun, tahun 2003 lalu, dia memutuskan untuk menghakhiri menjadi jurnalis. Pasalnya, Onny merasa di tempatnya kerja tak lagi kondusif kala itu – ia putuskan untuk melakukan gugatan dan lebih memilih menjadi filmmaker. Kini, menjadi sineas muda di Sumatera Utara. "Awalnya, menjadi filmmaker atau membuat video jurnalis karena bentuk kekecewaan terhadap perusahaan media yang tak bisa menghargai jurnalis daerah dengan profesional," sebutnya pada Global, akhir pekan lalu.

Siang begitu terik, Onny sibuk membidikkan kameranya ke arah pantai di Aceh Selatan. Saat itu, dia sedang membuat film dokumenter untuk profil kabupaten yang dijuluki kota naga tersebut. Sesekali mulutnya berdecak kagum akan keindahan alam di kabupaten penghasil pala terbesar di Aceh tersebut. Kekecewaan itu menghantarkan suami dari Mahyuni Harefa SE ini menjadi pembuat film dokumenter. Dia menyebutkan, secara otodidak terbiasa dengan kamera. Mantan Cameraman TPI di Sumatera Utara ini, kemudian belajar lebih dalam tentang editing gambar di sebuah lembaga di Medan. "Aku terbiasa dengan kamera. Tapi, di TV itu kan cuma sekadar merekam gambar. Aku tidak tahu bagaimana proses editing dan mengkonsep tayangan baku. Setelah keluar dari TPI, makanya aku harus survive untuk menghidupi keluarga," ujarnya tegas. Sesekali asap putih keluar dari bibirnya. Rokok putih itu sudah dua kali disambungnya.

Rezeki takkan lari ke mana. Itulah ungkapan yang tepat buat Onny. Sejak itu, dia malang melintang di dunia pembuatan film. Tidak jarang pula, para pekerja NGO baik lokal dan internasional menggunakan jasanya untuk membuat video report (laporan audio visual). Kemampuannya mengambil gambar yang eksotik, membuat lelaki ini dipercaya oleh lembaga internasional untuk mengerjakan film dokumenter dan video reports mereka. USAID, OXFAM dan Swisscontac adalah lembaga yang pernah menggunakan jasa Onny. Hasilnya, tak diragukan. Kualitas gambar yang dihasilkan Koordinator Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan ini sangat bagus. Sehingga, lembaga asing yang berkantor di Amerika, Ingris dan Swiss itu berani membayarnya Rp 800.000 per hari untuk pengambilan gambar diluar biaya editing serta produksi jadi film. Ya, hobi memegang kamera "berbuah" rupiah bagi Onny. "

Tidak tanggung-tanggung. Setelah meninggalkan dunia jurnalis TV, Onny serius menekuni dunia barunya. Sedikitnya enam film dokumenter telah digarapnya. Film dengan judul Kintir-bercerita tentang bencana banjir bandang di Langkat, Alam Menangis, Warga Mengggugat-bercerita soal banjir di lembah Sibayak. Film lainnya, Menapak Tahura, Menjemput Asa, Lembar Surga Dua Desa-film keberagaman dan lingkungan di Daulu Brastagi, serta Cakap-cakap Orang Sumut-bercerita sosial politik, bagaimana masyarakat Sumut mencari pemimpin yang cerdas dan baik dalam pilkada mendatang dan terakhir film dokumenter dengan judul Pantang di Jaring Halus. Pantang di Jaring Halus sendiri film yang berlatar budaya dan konservasi alam. Bahkan, film ini diikutsertakan dalam lomba film dokumenter di Jakarta. "Alhamdulillah sekarang sudah sampai 12 besar. Tanggal 20 kemarin di putar di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta," sebut Onny bangga. Onny berharap, film satu-satunya yang masuk mewakili Sumatera Utara itu bisa memenangkan lomba yang diprakarsai Garin Nugroho dan kawan-kawan itu. Saat disinggung soal targetnya, Onny menyebutkan dirinya berharap menang di Jakarta. "Kita ingin buktikan bahwa anak Medan juga punya kemampuan dalam bidang sinematograpy," sebutnya dengan logat khas Medan.

Geli Dipanggil Sutradara
"Aku geli kalau ada orang mengatakan aku sutradara," ketusnya. Pria yang tidak menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Pembangunan (STIK-P) Medan ini menyebutkan banyak orang mengartikan film dokumenter seperti film cerita dan sinetron, padahal tidak.Dengan rendah hati, Onny menyebutkan dirinya filmmaker (pembuat film). "Aku bukan sutradara. Kalaupun sutradara, aku masih menyutradarai diriku sendiri. Karena aku juga pembuat naskah, kameramen dan editor di semua filmku," ujarnya. Sesekali Onny terus menatap ombak. Senja mulai memerah di Aceh Selatan sore itu. Dia membenarkan kaki tripot kameranya. Moncong kamera di arahkan ke arah matahari terbenam (sunset).

Menurutnya, masa depan film dokumenter di Sumatera Utara punya masa depan yang baik. Pasalnya, saat ini daerah itu masih sangat minim memiliki sineas pembuat film dokumenter. Sehingga, setahun lalu, bersama teman-temannya, dirinya bergabung dalam File dokumentere (SFd). Lembaga ini berdiri sendiri dalam lembaga Source of Indonesia (SOI). "Bukan itu saja. Di Medan banyak peristiwa yang tidak terdokumentasi dalam bentuk film. Misalnya jatuhnya pesawat Garuda, Mandala dan lain sebagainya. Inikan sejarah, makanya dibutuhkan dokumentasi dalam bentuk film," sebut pria kelahiran Medan 7 Januari 1968 ini. Selain itu, sebutnya, saat ini laporan perusahaan dan NGO bukan hanya di buat dalam bentuk tulisan. Namun, tak sedikit NGO meminta laporan dalam bentuk audio visual dalam format video report. "Misalnya durasinya 15 menit," ungkapnya. Namun, kini, Medan sepertinya kurang memberikan apresiasi terhadap film dokumenter karya sineas mudanya. Terbukti, dua kali mengikuti lomba nasional, Onny, harus merogoh kocek pribadi untuk biaya pembuatan film tersebut. Bahkan, sampai memasuki 10 besarpun, pemerintah setempat dan instansi terkait belum memberikan apresiasi terhadap karya sineas muda ini. Onny berharap dukungan dan do’a dari seluruh masyarakat Sumatera Utara, agar Film Pantang di Jaring Halus menang dalam lomba festival film dokumenter di Jakarta,serta berharap lebih jauh, agar pemerintah memberikan apresiasi terhadap karya seni dan karya kebanggaan masyarakat Sumatera Utara itu. Sore semakin redup, langit tampak merah. Sebentar lagi gelap tiba. Onny bergegas dengan senyum puas, atas buruan gambar eksotis yang dia hasilkannya. (Masriadi Sambo-Global)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar