Sabtu, 14 Februari 2009

Sosok Dibalik Layar Perempuan Nias

MESKI SEMPAT KONTROVERSI SAAT MEMPRODUKSI FILM DOKUDRAMA PEREMPUAN NIAS MERETAS JALAN KESETARAAN (PNMJK), NAMUN SUARA MIRING SEGELINTIR ORANG PERLAHAN BERINGSUT SIRNA. TOH, TERBUKTI SAAT FILM PNMJK DI PUTAR PERDANA DI LAPANGAN MERDEKA GUNUNG SITOLI BEBERAPA WAKTU LALU, RIBUAN PENONTON BERDUYUN MENYAKSIKANNYA. DECAK KAGUM MENGALIR DARI BIBIR PENONTONNYA. DISAMPING KEAHLIAN TIM KREATIFNYA, SIAPA PULA SUTRADARA DI BALIK LAYAR FILM PEREMPUAN NIAS INI?

Karirnya sebagai seorang filmmaker Medan sedang melejit. Tetapi bukan meroket dengan serta merta. Semua diperoleh dengan usaha keras, prinsip, dan perjuangan. Dialah filmmaker Medan yang paling dicari-cari saat ini. Panggil dia, Onny Kresnawan!

Ialah sosok di balik pembuatan berbagai film yang mengangkat tema-tema lokal. Karya-karyanya beberapa kali mendapatkan penghargaan pada berbagai Festival Nasional. Sebut saja film documenter berjudul “Badai”, film soal krisis air bersih yang terjadi di daerah Langkat, Sumatera Utara. Awal 2008, film ini mendapat juara III pada Festival Film Air FORKAMI Jakarta.

Film lainnya “Pantang di Jaring Halus”, film documenter yang mengangkat isu soal konservasi hutan mangrove terkait ritual budaya masyarakat setempat. Film ini menjadi nominator Festival Film Konfiden Jakarta, di putar di Taman Ismail Marzuki, kemudian menjadi film terbaik J-Festival Jawa Timur pada tahun 2008.

Film Cerita Pendek “Pesan dari Balik Kerudung” hasil produksi bersama Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) yang melibatkan anak-anak Pulau Simeulue, Sinabang menjadi juara I Video Diary Yamaha 2008. Pun film rangkaian impian anak-anak putus sekolah kepada sang presidennya, “Goresan Anak Pemulung” menjadi nominator Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta tahun 2005.

Yang terbaru adalah film “Perempuan Nias Meretas Jalan Kesetaraan (PNMJK)” , film dokudrama hasil produksi PKPA dengan SFD, AJI Medan serta didukung Medan Bisnis, Medan Wekkly dan Tabloid Pinbis sebagai Media Fatner. Film diangkat dari hasil penelitian PKPA dan bercerita tentang seorang anak perempuan, Yanti yang tengah memperjuangkan haknya sebagai perempuan Nias. Hak untuk menentukan pilihan hidup, hak memperoleh pendidikan, hak menolak pernikahan dini yang menjadi adat kebiasaan masyarakat Nias.

Film-film yang terlahir dan disutradarai Onny adalah bukti kepekaannya terhadap berbagai permasalahan sosial dan kultural yang kerap terjadi di masyarakat. Ia sangat sensitif menyoal hal-hal kecil yang sering kali terabaikan dan membidik kearifan-kearifan lokal untuk dijadikan cermin.

“Inilah kelebihan Onny,” kata Maskur Abdullah, koresponden kantor berita BBC London untuk Indonesia. Menurutnya Onny mampu menggarap film-film dengan muatan edukasi. Nuansa lokal yang dihadirkan menjadi kelebihannya. Selain mata hatinya yang pandai membidik ide-ide menarik, ia memiliki kemampuan membidik gambar dengan cameranya dan menyajikannya menjadi tontonan yang asyik dan artistic. “Seperti kisah para petani di Kuala Namu yang tanahnya digusur untuk Bandara,” kata Pemimpin Tabloid Pinbis yang sudah menonton beberapa karya Onny itu.

“Asik dalam arti gambar yang diambil dapat menyentuh hati, sangat nature, tidak didramatisir namun diangkat dari kisah nyata yang ada di masyarakat,” kata Sofyan Tan, Ketua Yayasan Ekosistem Leuser dan Ketua Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan. Sofyan Tan adalah salah seorang yang telah bertahun-tahun diikuti oleh “mata camera” Onny sehingga terlahirlah sebuah dukumenter berjudul “Cakap-Cakap Orang Sumut”.

Ahmad Sofian, Direktur Eksekutif PKPA yang sudah setahun menjalin kerjasama dengan Onny dalam bentuk video report, film documenter, dan terakhir dokudrama PNMJK merasa sangat puas dengan sentuhan tangan kreatif Onny. “Yang terakhir ini saya sangat puas. Benar-benar orisinil Nias, pemainnya, latar budayanya, pesannya juga sampai,” kata Sofian. “Onny adalah seorang professional dalam bekerja, ide-ide dikemas dengan menari, yang paling berkesan adalah sifat kerelawanannya. Ia tidak mengutamakan profit dalam membuat sebuah film,” kata Sofian lagi.

Miranti Hirchsmann, jurnalis Radio DW Jerman yang tengah menjalankan tugas jurnalistiknya beberapa waktu lalu di Medan sempat memberi komentar seputar film PNMJK, ia merasa miris. “ Masalah perempuan yang terbelenggu adat hingga sekarang masih saja terjadi. Tidak hanya di Indonesia namun juga di negara negara seperti India, Afganistan, juga negara-negara Timur Tengah dan Afrika. Walaupun sudah berlangsung ratusan tahun, masih juga banyak yang tak mampu lepas dari belenggu-belenggu itu” sebut Miranti yang juga Koresponden Gatra Biro Jerman itu

Miranti mengatakan bahwa perempuan harus mulai menyadari apa yang menjadi hak mereka. Hak kesetaraan gender, hak mendapat pendidikan, dan hak hidup layak. “Tak ada yang dapat memperjuangkan hak hak tersebut kalau bukan perempuan itu sendiri,” kata Miranti.

Kesadaran tersebut hanya bisa terbuka lewat pendidikan, seperti digambarkan Onny dalam filmnya. Tanpa pendidikan, jendela untuk melihat dunia luar tak akan terbuka. Dengan melihat ke luar jendela, perempuan bisa berpikir lebih jauh. “Saya yakin setiap perempuan memiliki kekuatan untuk menentukan jalan hidupnya,” tegas Miranti.

Perempuan diciptakan kuat, mereka hamil, melahirkan, dan mampu mengerjakan multi tasking dalam kehidupan rumah tangga. Namun dunia tidak terbatas pada pagar rumah mereka. Sayangnya, penghargaan terhadap perempuan di beberapa negara masih memprihatinkan.

Bahkan kata Miranti bila bercermin pada negara negara maju seperti Eropa, sejarah emansipasi dan kesetaraan gender pun selalu menjalani jalan panjang yang berliku. Ini membutuhkan kesadaran dan tekat sekuat baja, tanpa meninggalkan kewajiban alami sebagai perempuan.

Munculnya film-film maker seperti Onny dan kawan-kawan akan membawa nafas baru dalam perfilman Indonesia. “Film Indonesia sedang bangkit, kehadiran sineas-sineas muda yang jeli melihat berbagai isu dan persoalan social.,” tutur Miranti. Apalagi masyarakat Indonesia melompati budaya literat kepada budaya visual. Film merupakan sarana tepat.

“Film dokumenter, sebagai media yang sedang digemari, nampaknya harus ditangani dengan hati hati, kalau terlalu serius, saya takut nggak ada yang berminat nonton. Onny punya kejelian itu,” lanjut Miranti. Menurutnya Onny seorang yang sensitive, mungkin karena ia berusaha tidak ingin menyakiti siapa pun. Ia amat hati hati dan cerdas berinteraksi dengan masyarakat.

Miranti berharap Onny dapat mengangkat masalah-masalah sosial lain yang luput dari perhatian orang banyak. “Saya pikir, film bisu pun akan bercerita lebih banyak dari pada sejuta kata kata tak bermakna. Saya mengucapkan selamat dan sukses atas karya Onny dan rekan rekan. Bravo!” kata Miranti antusias.

Kekaguman terhadap film-film yang terlahir dari tangan Onny juga tercetus dari Meutia Hafizd. Ketika tengah berkunjung ke PKPA Medan, Meutia sempat menonton PNMJK. Walau tak sempat menonton hingga selesai, ia mengaku menikmati alur, menangkap orisinalitas cerita, dan keindahan gambar. Ia sempat terkejut begitu tahu film ini hanya dibuat dengan menggunakan satu kamera. “Film sebagus ini hanya menggunakan satu kamera?”tanya Meutia seakan tidak percaya. Ia mengaku biasanya di Metro TV membutuhkan paling tidak tiga kamera untuk membuat satu film documenter. “Salut,” kata Meutia lagi.

“Saya juga merasa sangat fantastis, untuk membuat film ini satu adegan dilakukan berulang-ulang untuk memperkaya sudut pengambilan, angel, hasilnya luar biasa,” kata Ahmad Sofian. Ia bangga dan puas karena kerjasama dan kerja keras mereka membuahkan hasil. “Filmnya bagus. Pesan yang mau kita sampaikan juga dapet,” katanya lagi.

Bagi Astra Sitompul, Produser Eksekutif Deli TV juga menilai film PNMJK sudah cukup baik walau dengan teknologi yang terbatas. “Cerita tentang masyarakat Nias, isinya sangat mendidik,“ katanya. Film ini merupakan protes terhadap kebiasaan yang bersembunyi di balik adat-istiadat. “Saatnya kita juga selektif terhadap nilai-nilai budaya yang sudah usang,” kata Sitompul lagi.

Sitompul telah lama mengenal Onny, teman bersama minum kopi, bahkan sejak Onny masih menjadi kameraman di salah satu televisi swasta Indonesia. “Onny sudah sangat maju di bidang jurnalistik malah maju di bidang sinema pula sekarang. Pengambilan gambar bagus, cerita-ceritanya edukatif,” kata Sitompul. “Dia harus terus melakukan ini. Jangan sampai berhenti. Karena sinematografi adalah gambaran kehidupan masyarakat yang harus digarap terus-menerus,” pesan Sitompul.

Onny memang seorang seniman, seniman sinematografi. Ia mencintai pekerjaannya dengan sepenuh hati. Sejak menjadi nominasi pada satu festival di Yogyakarta pada tahun 2004, Onny menetapkan hati akan serius di sinematografi. Ia mencintainya dan ingin menjadikannya sebagai media kampanye. Kampanye pikiran-pikirannya untuk control social masyarakat.

Berbekal motto Berkarya Professional dan Bersemangat Kerelawanan, Onny berkarya dan berkarya. Hasilnya? Film-film yang menurut Maskur layak bersaing di tingkat nasional. Sepuluh tahun lebih mengenal Onny, Maskur menilainya sebagai seorang yang kreatif, sedikit moddy, suka berkesperimen, dan tidak suka diganggu jika sedang serius bekerja. “Itu yang saya suka dari Onny,” katanya lagi.

Ia juga terkadang meledak-ledak. Ia memegang prinsip dan akan memberontak terhadap persoalan yang tak dapat diterimanya dengan hati nuraninya. “Ia juga enak diajak kerja sama, memberi masukan, dan mau menerima pandangan kita,” kata Sofyan Tan pula. “Terutama, ia tidak matrealistis,” tandasnya lagi. (Ditulis Oleh Eka Rehulin untuk Media Fatner)

4 komentar: